FOTOGRAFI CERITA
1.1.SEJARAH SINGKAT FOTOGRAFI JURNALISTIK
Pada awalnya jurnalistik dan fotografi jalan
sendiri-sendiri, jurnalistik berkembang sekitar
tahun 1798 dan fotografi berkembang pada tahun 1839. Kemudian, seiring
perkembangan jaman, keduanya pun terus mengalami revolusi-revolusi bentuk
dan fungsi, namun masih belum menyatu
karena belum ada yang berinisiatif untuk menyatukan kedua bidang yang
berbeda tersebut. Barulah kedua ranah ini mulai bertemu ketika Harian
Holladsche
Mercurius memuat gambar penobatan Cromwell menjadi raja Inggris Raya
pada tahun 1653. Momen inilah ditasbihkan sebagai kegiatan foto yang
berkaitan dengan berita yang untuk kemudian dikenal dengan istilah
foto jurnalistik untuk pertama kalinya dilakukan. Foto jurnalistik itu
sendiri
secara harfiah merupakan karya visual dari jurnalisme yang memilki
nilai
berita atau pesan yang layak untuk diketahui khalayak banyak dan disebarluaskan
melalui media massa.
Kendati
cikal bakal kegiatan dari foto jurnalistik sudah terdeteksi pada tahun 1653. Namun, sejarah
perkembangan foto berita tersebut tidak terlepas dari peran dan kontribusi seorang fotografer atau pewarta foto
perang pada masa perang dunia ke
II, yakni Robert Cappa. Sekitar tahun 1936, saat dunia sedang berkecamuk perang, Robert Capa berhasil
mengabadikan momen dramatis
sekaligus monumental melalui lensa kameranya yang memperlihatkan seorang serdadu yang sedang roboh
tertembak peluru di Spanyol. Foto
yang kemudian diberi judul “Death of Loyalist Soldier” tersebut bahkan memeroleh sejumlah penghargaan,
termasuk di antaranya penghargaan
Pulitzer serta berulangkali dimuat diberbagai media massa cetak kala itu, di antaranya di Majalah VU
terbitan Prancis dan tentunya di Majalah
Life tempatnya bekerja. Sebagai seorang wartawan perang, Robert Cappa menghabiskan hamper seluruh hidupnya di medan perang, bahkan fotografer
kelahiran 22 Oktober 1913 di Budapest Hungari harus meregang nyawa saat ia tertembak dan akhirnya meninggal
dunia saat meliput perang
Indo-China pada tahun 1954, tepatnya pada tanggal 25 Mei 1954 di Thai Binh, Vietnam.
Perkembangan
foto jurnalistik di Indonesia tidak terlepas dari peran seorang Alex Mendur, ketika ia berhasil mengabadikan
prosesi pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno
melalui lensa kamera foto Leica
miliknya. Pada saat itulah, yakni sekitar pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945,
seorang jurnalis foto Indonesia telah lahir, sehingga pada tahun-tahun selanjutnya kegiatan foto jurnalistik
semakin berkembang seiring perkembangan
media massa di Indonesia.
Alex
Mendur (1907-1984) yang saat itu bekerja sebagai kepala fotografer pada Kantor Berita
Jepang Domei, dan adiknya yang juga sama-sama seorang pewarta foto, Frans
Soemarto Mendur (1913-1971)merupakan perintis dan pionir perkembangan foto
jurnalistik di Indonesia. Semasa hidupnya, dua bersaudara ini banyak mengabadikan peristiwaperistiwa
bersejarah di awal berdirinya Republik Indonesia. Karenanya, dari
tangan merekalah fotogarfi
jurnalistik di Indonesia berkembang hingga saat ini. Selain mereka, momen bersejarah juga
berhasil dijepret oleh Abdoel Wahab, seorang fotografer dari IPPHOS yang berhasil mengabadikan
peristiwa sekuen penyobekan
bendera Belanda menjadi sang saka merah putih di Hotel Yamato Surabaya.
Alex Mendur beserta rekan-rekannya di IPPHOS dan Abdoel Wahab adalah pewarta visual Indonesia
pertama yang digembleng pendidikan kejuruan formal Belanda dan Jepang, serta diasah oleh semangat
kemerdekaan dan dibentuk dalam
medan pertempuran. Ketrampilan,
kecekatan, wawasan, keberanian dan komitmen mereka inilah yang menginspirasi dan menjadi bahan referensi para pewarta foto Indonesia kini.
kecekatan, wawasan, keberanian dan komitmen mereka inilah yang menginspirasi dan menjadi bahan referensi para pewarta foto Indonesia kini.
1.2. PENGERTIAN JURNALISTIK
Pada
dasarnya semua foto yang dimuat di media massa disebut sebagai foto jurnalistik dan
memiliki kelayakan sebuah berita. Istilah dari foto jurnalistik itu sendiri
pertama kali diperkenalkan
oleh Wilson Hick, redaktur senior majalah LIFE (1937-1950) yang berhasil “melahirkan” para pewarta foto
kawakan lainnya di dunia, sebut saja di antaranya Elliot Ellisofon, Edward Steichen dan Robert
Capa. Dalam bukunya yang ia beri judul
“World and Pictures” (1972), Hick mengatakan, foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual
yang hadir bersamaan. Elemen verbal
yang dimaksud adalah caption. Jadi dapat disimpulkan foto jurnalistik merupakan
kesatuan antara gambar dan teks.
Sedangkan
Oscar Motuloh, dalam sebuah pelatihan fotografi berpendapat, “foto jurnalistik
adalah suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan beragam bukti visual atas
berbagai peristiwa kepada masyarakat seluas-luasnnya secara cepat”.
Foto
jurnalistik pada dasarnya adalah bercerita atau melaporkan suatu kejadian atau kenyataan
dengan menggunakan medium foto. Seperti juga halnya pelaporan dalam bentuk tulisan, maka pada foto jurnalistik pun
berlaku apa yang disebut dengan
unsur-unsur berita, yakni 5W + 1H, terdiri atas, What (Apa); Who (Siapa); Why (Mengapa);
Where (Dimana); When (Kapan); dan How (Bagaimana).
1.3. FOTO CERITA
Gaya
penyampaian foto cerita pertama kali muncul di jerman pada 1929 di majalah Muncher
Illustration Presse dengan judul “Politische Portrats” Yang menampilkan 13 foto
politikus jerman dalam dua halaman, kemudian majalah LIFE di edisi 3 November
1936 oleh seorang jurnalis foto perempuan bernama Margaret Bourke-White yang meliput
pembangunan bendungan di Montana.
Fotografer
Tanah Air, Mendur, mungkin adalah fotografer Indonesia Pertama yang
mempublikasikan foto cerita. Karyanya yang berjudul “Poewasa” yang bercerita
tentang puasa dimuat di majalah Actueel Wereldnieuws pada 1993.
Foto
Cerita mampu menyampaikan pesan yang kuat, membangkitkan semangat, menghadirkan
perasaan baru, menghibur, hingga memancing perdebatan. Dalam foto cerita ada
yang berbentuk pendek dan panjang. Lembaga penyelenggara kontes foto
jurnalistik World Press Photo (WPP) di kategori story menyebut jumlah minimal foto cerita adalah dua foto dan
maksimal 12. Sedikit foto yang dirangkai memang cukup bercerita dalam foto
jurnalistik, tapi untuk foto cerita dengan tema umum, 7-15 foto adalah jumlah
yang ideal. Meski begitu, majalah LIFE biasa membuat foto cerita panjang berisi
kurang lebih 30 foto.
Kelebihan
foto cerita adalah kuat, focus, dan kreatif. Kesan yang muncul dari satu foto
cerita lebih kuat dibanding foto tunggal karena pembaca mengikuti cerita dari pembuka
hingga penutup dan mendapatkan pengalaman yang mendalam. Dalam fotografi cerita
bisa dikelompokkan dalam beberapa bentuk salah satunya foto deskriptif/series.
FOTO DESKRIPTIF/SERIES
Bentuk foto cerita deskriptif/series
adalah yang paling banyak dibuat oleh fotografer karena sederhana. Foto
deskriptif tidak memerlukan editing yang rumit karena bentuk ini tidak menuntut
alur cerita sehingga bentuk ini bisa juga disajikan dalam bentuk foto series. Sajian series juga bisa digolongkan dalam bentuk deskriptif berdasarkan
ciri-cirinya, yaitu sususnan foto bisa ditukar tanpa mengubah isi cerita dan
semakin banyak foto maka akan semakin gambling ceritanya. Dalam materi kelas
foto jurnalistik di The City University of New York dijelaskan bahwa series adalah satu set rangkaian foto
seragam yang didesain untuk mengilustrasikan satu poin perbandingan.
Komentar
Posting Komentar